Bejo : " Mbok.....awak ku panas....sirah ku mumet....rasa ne nggliyer....arep semaput". (Bu...badan ku panas...kepalaku pusing....rasa nya cenut cenut....mau pingsan)
Mbok-e : " Gene, Jo...kowe mau mangan opo? Kok dadi loro ngono....". ( Kenapa, Jo....kamu tadi makan apa? Kok jadi sakit begitu....)
Bejo : " Aku mau kodanan, mbok....udan e awet ga terang-terang, tak trobos ae mbok....mben aku ndang tekan omah". ( Aku tadi kehujanan, bu...hujan nya lama ga berhenti-henti, aku jalan saja bu....biar aku cepat sampai rumah)
Mbok-e : " Yooo kuwi sing gara i kowe loro, Jo...." (Yaa itu yang bikin kamu sakit, Jo....)
Bejo : " Gene, mbok...." (Kenapa, bu....)
Mbok-e : " Katisen jur masuk angin, Jo...Yowes, ndang gluntung .....tak jaluki obat neng pak mantri". (Kedinginan dan masuk angin, Jo....Ya sudah, cepat istirahat...aku mau minta obat ke pak mantri)
Bejo : " Iyooo....mbok" (Iyaa...bu)
Sakit di Kota
Bejo : " Mbok.....awak ku panas....sirah ku mumet....rasa ne nggliyer....arep semaput". (Bu...badan ku panas...kepalaku pusing....rasa nya cenut cenut....mau pingsan)
Mbok-e : " Golek pangan lagi susah, Jo....ojo mbok tambahi loro mu....mbok-mu iki ga duwe duit" (Nyari makan saja susah, Jo....Jangan kamu tambah dengan sakit mu...ibu mu ga punya uang)
Bejo : " Lorooo aku, mbok....nek aku mati piye mbok? " (Sakit aku bu....kalau aku nanti mati gimana bu? )
Mbok-e : (mbrebes mili) " Kanggo bayar dokter e gawe duit....kanggo nebus tuku obat e gawe duit maneh...duit kerjo pak-e mbok-e cukup kanggo mangan mbendino ae ,Jo...." (Buat bayar dokter pakai uang....buat beli bat pakai uang juga....uang kerja bapak ibu mu cukup buat amakan setiap hari saja, Jo...)
Bejo : " Mbok....opo wong ga duwe duit ga ntuk loro..." (Bu...apa orang tidak punya tidak boleh sakit)
It's True....
Begitulah, ekspresi masyarakat ketika sedang sakit terhadap pelayanan kesehatan di negeri ini. Kedua fragmen di atas, adalah pengalaman pengamatan di sekitar saya saat tinggal di ndeso aka kampung dan sekarang tinggal di megapolitan ibukota negeri ini.
Mulai lahir hingga lulus putih abu-abu saya dibesarkan di lingkungan ndeso. Dengan masyarakat ndeso mayoritas adalah petani dan buruh pabrik gula. Dan saya adalah anak petani yang penghasilan dari bertani cukup untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan anak semata wayang nya (saya) ke sekolah negeri yang saat itu masih murah.
Sakit atau tidak bisa lagi beraktivitas seperti biasa nya di ndeso, bukan lah hal yang menakutkan atau membingungkan karena terbatas nya dana (tidak punya uang). Setidak nya itulah yang saya rasakan selama tinggal di ndeso.
Lebih dari cukup tenaga kesehatan, mungkin ada sekitar lima atau enam nakes yang tinggal di desa saya, mereka adalah para bidan yang kerja di rumah sakit dan mantri yang bekerja di poli/bagian kesehatan di instansi/lembaga tempat kerja nya.
Biaya nya? tidak perlu takut di mahalin, mereka kadang meng-ikhlas kan tidak minta biaya jasa dan obat bagi pasien yang tidak mempunyai uang.
Kebetulan saya selalu mbalik ndeso setiap lebaran. Dan terakhir, pas lebaran empat bulan yang lalu, saya mendengar cerita buk e kalau biaya berobat ke pak dokter A dan pak mantri B (dua orang nakes yang paling laris di dekat rumah orang tua saya) masih sangat terjangkau, cukup 20 rb - 50 ribu tergantung sakit nya dan obat yang akan di berikan oleh mereka.
Alhamdulillah, saya jarang sakit.
Karena saya memang takut di suntik, jadi nya saya bisa mensugesti diri sendiri dengan membangunkan pasukan imun tubuh saya ketika virus/bakteri itu mulai menyerang my body. #HalaaahNyuwunSewuLebayKambuh
Di PIM (Pondok Indah Mertua) yang tinggal di ndeso juga. Masalah kesehatan juga bukan lah hal yang menakutkan dan membingungkan. Banyak pilihan nakes di sekitar rumah, dan untuk memantau kondisi kesehatan mak-e pasca stroke ringan, sangatlah mudah karena ada mas Teguh, sepupu suami saya yang menjadi dokter dan rumah nya tidak begitu jauh dari PIM.
Ada cerita proses melahirkan istri sepupu suami saya yang lain. #Oupss, jangan bingung sudah biasa kalau di desa kekerabatan nya sangat dekat, jadi semua nya adalah saudara....hehehe.
Kebetulan mau melahirkan anak kedua, dengan jarak hampir delapan tahun dari anak pertama nya. Ba'da dhuhur, istrinya sepupu suami saya masih menjemput anak nya yang sekolah. Sebelum ashar mules-mules, sepertinya sudah kontraksi kontinu dan dibawa ke bidan. Alhamdulillah ba'da ashar melahirkan normal anak kedua nya. Setelah istirahat sekitar dua jam di rumah bidan, ba'da maghrib sudah pulang ke rumah.
Masyaallah, Laa haula walaa quwwata illa billah....
WooW, proses persalinan yang lazim seperti itulah di ndeso dan jarang ada kasus persalinan yang non partus spontan (baca. secar)
Tidak seperti saya, alhamdulillah saat ini sudah diberi empat amanahNya. Setiap saya mengeluh ketika hamil dan hampir melahirkan, keluarlah motivasi (yang ga enak di dengar, hehehe) dari suami saya.
" Mosok to mbok-mu....kalah karo yu Nah, mbokdhe Semi, ikah, parsini....podo-podo meteng e tetep ae neng kebun sawah sampe anak e lahir".
Spechless.....#Sebel dan malu ga bisa terucapkan untuk membalas motivasi nya
Tulisan saya di atas tentang praktik pelayanan kesehatan di ndeso tentu dengan catatan, jika sakit yang dirasakan adalah gejala sakit yang masih bisa di tangani oleh nakes di ndeso, tapi jika sakit tertentu yang membutuhkan alkes lengkap dan tes lab tetap lah masyarakat ndeso pergi ke rumah sakit daerah yang tentu nya membutuhkan pelayanan yang optimal, tulus, sungguh-sungguh dan (harus nya) ramah di kantong aka terjangkau.
Dan saya memang mempunyai pengalaman tidak menyenangkan di fasilitas publik yang melayani kesehatan masyarakat aka rumah sakit milik pemerintah. Saya waktu kecil adalah anak yang suka ngikut siapa saja pergi, termasuk ikut kerabat yang mau membesuk ke rumah sakit.
Mungkin ini lah beda nya tinggal di ndeso dan kota, kalau kita tinggal di ndeso kemudian sakit di rawat inap di rumah sakit bisa di pastikan hampir semua masyarakat di ndeso tersebut akan membesuk. Mungkin bisa ke hitung siapa saja yang tidak membesuk, tapi biasa nya mereka akan tetap membesuk di rumah ketika kerabat yang sakit sudah di ijinkan pulang oleh dokter. Bukan oleh-oleh aka buah tangan atau ampau yang mereka bawa yang membuat bahagia, tetapi dukungan support dan doa mereka kepada yang sakit itulah yang paling membahagiakan. #TibaTibaKangenNdeso.....hiks
Foto di ambil di sini |
Nah, tiba lah saat nya saya kebelet ke belakang, rasa ingin ke belakang itu tak tertahan kan dan harus di keluarkan kalau tidak saya malu ngompol di ruang rawat inap ini yang 12 ranjang nya penuh dengan pasien dan para pembesuk.
Wuuuus, lari lah saya saat itu ke depan, ke koridor nanya ke para nakes di mana kah toilet.
Dan semua menunjuk ke suatu tempat, di mana toilet nya penuh dengan kot*r*an manusia dan mau tidak mau saya harus masuk toilet itu karena rasa kebelet yang sudah tak tertahankan.Huaaaaa. #TibatibaMualIngatItu
Akhirnya, pengalaman tidak menyenangkan itu menancap kuat dan membekas di ingatan sampai saya berusaha semaksimal mungkin untuk selalu sehat. Hal itu menjadi motivasi saya , Bismillah kalau sakit (demam) jangan cengeng, ayoooo bisa cepat sembuh dengan istirahat kemudian minum obat dari warung terus makan makanan kesukaan saya, mie ayam bakso yang kuah nya banyak dan pedes. #slllrppp.....Insyaallah, cepat sembuh dech....hehehe
Hingga akhirnya.....
Saya menikah, hamil dan melahirkan selama empat kali di rumah sakit.
Bayangan mengerikan rumah sakit di daerah saya yang tidak menyenangkan itu berubah menjadi bayangan yang menyenangkan untuk berobat dan dirawat di rumah sakit.
Believe it or not, tapi saya memang harus percaya.
Kebetulan suami saya nguli mencari sesuap nasi dan (katanya) sebongkah berlian di ibukota negeri ini, di mana tempat nguli nya memberikan jaminan kesehatan di beberapa rumah sakit swasta di jabodetabek bahkan (kata nya) jika rumah sakit di negeri ini tidak mampu mengobati bisa berobat ke luar negeri #ckckckck
Karena saya mempunyai anak-anak yang masih kecil, setiap ke rumah sakit untuk periksa rutin kehamilan selalu di antar suami dan itu hanya bisa kami lakukan setiap hari sabtu, ketika suami saya libur tidak nguli. #Alhamdulillah
Suasana rumah sakit yang nyaman buat anak-anak saya bermain...:) Kebetulan Raza (no.3) sedang sakit kulit dan kami bawa ke rumah sakit ini ba'da maghrib. Foto koleksi pribadi |
Belum selesai, ekspresi ndeso saya.
Ketika kendaraan kami berhenti di depan rumah sakit, sudah ada doorman dengan pakaian adat khas membukakan pintu mobil dan mempersilahkan kami masuk ke rumah sakit. Sungguh, pelayanan yang luar biasa bagi saya, hampir sama ketika saya nganter suami meeting di Grand Hyaat Hotel Bandung dan nungguin di ruang mushola (dengan membawa bayi dan sedang hamil lima bulan) sampai sebelum dhuhur mencari penginapan murah di Bandung. #FamilyTravellerNgirit
Masuk ke dalam rumah sakit, di bagian front office saya pun kembali di bikin spechless.....#NdesoTenanRek
Di bagian customer services, ada empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan yang good looking dengan ramah nya menanyakan kami mau bertemu dengan dokter siapa.
Deg, ternyata sekarang pertanyaan nya berubah ya yang biasa nya di tanyakan," Sedang sakit apa? Siapa yang sakit? " menjadi ," Mau bertemu dengan dokter siapa?".
Lanjut ke suasana di dalam rumah sakit , hari sabtu adalah hari yang penuh pasien di rumah sakit ini,riuh ramai seperti di pusat perbelanjaan. Apalagi di poli anak, ramai sekali pasien nya, jumlah pengantar yang biasa nya dengan pengasuh/nanny/baby sitter tentu lebih banyak dari pada pasien anak-anak nya.
Dan bagi saya sendiri, sangat menyenangkan mendapat pelayanan yang bagus dan ramah oleh para nakes di rumah sakit ini. Andai, setiap fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, baik yang di kelola pemerintah dan swasta seperti yang saya rasakan, mungkin orang sakit akan lebih sedikit di negeri ini karena mendapat kan pelayanan yang maksimal.
Tetapi, apakah semua masyarakat yang tinggal di sekitar ibukota negeri ini mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama seperti kami?
Tentu tidak, karena pelayanan yang kami dapat kan tadi perlu di bayar dengan uang yang tidak sedikit. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia tentu akan berfikir dua kali, jika untuk satu kali periksa ke dokter spesialis harus membayar sekitar 250 ribu dan itu belum dengan obat yang di resep kan dokter untuk di beli di apotik. #MahalSekaliBagiSayaJikaHarusMembayarSendiri
Sungguh menyedihkan, karena pelayanan yang kami rasakan tadi hanya sebagian kecil mungkin hanya sedikit dari total seluruh penduduk negeri ini yang bisa mendapatkan nya. Dan sisa nya, sebagain besar nya masih mengalami pelayanan kesehatan seperti yang saya alami saat membesuk kerabat saya di ndeso.
Jika saya bandingkan pelayanan rumah sakit umum dengan rumah sakit swasta yang pernah saya alami, inilah perbedaan nya :
- Gedung, ini adalah bagian vital yang langsung bisa dilihat ketika akan berobat ke rumah sakit.
Di rumah sakit umum, sudah biasa terlihat para keluarga pasien yang menggelar tikar/alas untuk duduk-duduk atau tidur. Hal ini berbeda dengan rumah sakit swasta yang tidak akan kita temui pemandangan seperti itu.
- Pelayanan. Ini jelas sangat beda, walaupun tidak selalu, tetapi sering cukup menggambarkan jika memang sebagian besar rumah sakit umum adalah tempat praktek para siswa/mahasiswa nakes yang sedang belajar. Tentu, kita bisa melihat perbedaan nakes yang newbie dengan senior ketika melayani para pasien. Para nakes yang baru belajar itu tentu mempunyai tingkat ketrampilan dan pengalaman yang sedikit jika di bandingkan dengan nakes yang senior yang mempunyai pengalaman dan jam terbang yang sudah banyak. Di rumah sakit swasta, walaupun kita temui nakes fresh graduate, mereka sebelum bekerja harus melalui beberapa pelatihan dan training yang sesuai dengan SOP rumah sakit tersebut. Hal ini membuat para nakes newbie lebih luwes dan aware ketika melayani pasien.
- Peraturan dibuat tidak untuk di langgar. Yach, inilah habit kita orang Indonesia. Saya sadar, kalau budaya orang Indonesia untuk menaati aturan sangat minim sekali, alih-alih kita ingin mendapat kan contoh perilaku yang baik menaati aturan dari para pemimpin atau pengambil kebijakan negeri ini, justru kadang telinga kita gerah mendengar mereka dan keluarga nya bersikap arogan dan melanggar aturan. #Sedih
Setiap rumah sakit tentu mempunyai peraturan yang sama, salah satu nya adalah DILARANG MEROKOK. Di rumah sakit umum, walaupun tulisan ini di pasang di mana-mana, masih saja sering saya temui para pembesuk yang tidak menaati aturan ini. Berbeda dengan di rumah sakit swasta, karena ketika masuk rumah sakit langsung di sambut udara dingin dari kotak dingin AC, para smoker akan menahan diri untuk mau tidak mau harus menaati aturan itu selama berada di areal bebas asap rokok .
- Biaya. Inilah perbedaan yang sangat mencolok antara rumah sakit umum dengan rumah sakit swasta, yach tempat nguli suami saya hanya memberikan jaminan kesehatan sampai anak ketiga. Untuk biaya persalinan anak ke-empat di rumah sakit swasta itu pun kami membayar swadaya, dari tabungan kami senilai satu motor H*nd* CS one terbaru saat persalinan anak ke-empat secara sectio.
Begitulah, praktik pelayanan kesehatan di Indonesia. Semua sudah mafhum tahu jika swasta atau individu yang mempunyai modal bisa ber-investasi dalam setiap aspek termasuk kesehatan. Pemerintah yang seharusnya berperan aktif dalam hal pelayanan kesehatan masyarakat di bikin tidak berdaya karena kendala APBN yang (kata nya) sedikit dan (ternyata) di lapangan banyak di korupsi para oknum pejabat nya.
Menyedihkan memang, sistem kapitalis yang sudah membuat kesenjangan sosial yang tajam di negeri ini di perparah lagi dengan budaya korupsi yang sangat sulit di berantas jika broomer alat pembersih nya saja masih terkurung oleh sistem kapitalis itu sendiri. Fakta di lapangan, telah terjadi tawar menawar kasus antara pelapor, terlapor dan oknum penegak hukum di negeri ini. #NjenenganWaniPiro????
"Moralitas kapitalis ini telah menjadi sangat berpengaruh hampir di seluruh masyarakat masa kini. Dengan dalih ini, kaum miskin, lemah dan tak berdaya tidak diberikan bantuan serta perlindungan. Bahkan jika mereka terjangkiti penyakit parah dan mematikan, mereka tidak mampu mendapatkan siapa saja yang dapat membantu mengobati. Kaum papa diterlantarkan begitu saja dengan penyakitnya hingga meninggal".
(Harun Yahya , KAPITALISME DAN SELEKSI ALAM DI BIDANG EKONOMI)
Tidak, sekali lagi tidak justru hal itu membuat suami dan saya jarang menggunakan nya, how can? Iya, saya ke rumah sakit hanya ketika saya hamil untuk periksa rutin tiap bulan dan melahirkan. Alhamdulillah, selain itu bisa di hitung kapan saya dan keluarga ke rumah sakit.
Dan anak-anak saya pun, alhamdulillah belum pernah di rawat inap untuk sakit tertentu hingga hari ini. Dan dari mereka lahir tidak mempunyai langganan konsultasi dan obat-obatan (baik obat sakit maupun suplemen) dari DSA tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar