Kamis, 12 Februari 2015

[Wisata Alam Jawa Tengah] Gunung Muria Kudus : Puncak Songolikur (29) Yang Menakjubkan Untuk Di ukur

"Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk" 
[QS An Nahl : 15]

Bismillah....

Awal tahun 2015, seperti biasa saya dan keluarga silaturahim ke rumah mbah nya anak-anak di Kudus. Selain bertepatan dengan liburan sekolah, anak-anak sudah kangen bermain nge-bolang di rumah mbah nya setelah penat melihat kemacetan ketika berangkat dan pulang sekolah di jalanan megapolitan Jakarta. (Sebenar nya saya 'mbok-e' yang sudah pusing lihat macet, hehehe)

Kudus, sudah di kenal di Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata religi di nusantara. Hal itu di sebabkan ada dua makam dari sembilan wali songo yang masyur dan kharismatik dengan syiar Islam nya di tanah Jawa. Banyak mobil dan bus dari berbagai kota, propinsi, bahkan pulau yang melewati depan rumah mbah nya anak-anak. Karena, rumah mbah di Kudus memang berada di lereng gunung Muria yang berjarak kurang lebih lima kilometer dari wisata ziarah sunan Muria.

" Yuuuk ke Rahtawu?, ajak suami saya 
" Yang pemandangan nya baguuus itu kan....mauu sekalian ke puncak nya yoo pak-mu?", jawab saya dengan antusias, karena memang belum pernah ke sana dan bukan asli (dari) Kudus.

Alhamdulillah, karena di rumah ada budhe dan sepupu anak-anak. Kami bisa dengan nyaman menitipkan mereka, yach sambil menikmati masa-masa berdua  karena memang kami menikah tanpa pacaran. ( Jomblo mulia sampai ijabsah, yeeees....^_^ )

Sejak kembali dari tugas belajar ke negeri orange dan berkesempatan jalan-jalan ke beberapa kota di Eropa, suami saya sangat antusias dengan kekayaan dan keindahan negeri ini, yach Indonesia negeri yang kaya alam dan keindahan nya.
" Weees lah mbok-mu....ga ono sing apik koyo iku (sambil menunjuk ke televisi dengan program travelling Indonesia nya) neng kono (Eropa, red)," kata suami.
" Haaalaaah....padu ne ga pengen ngajak aku jalan-jalan neng Eropa to pak-mu," jawab saya agak kesal.
" Ndelok bangunan tua neng kono (Eropa)...alam e sik apik puoool Indonesia", jawab suami saya dengan bangga.
Salah satu perjalanan suami saya ke salah satu kota di Eropa saya tulis di sini.

Kembali ke rencana kami jalan-jalan ke desa Rahtawu.
Dari rumah kami berdua naik motor, karena pengalaman kami yang pernah bersama anak-anak membawa mobil, ngeri dan deg-deg an ketika di jalanan  bertemu mobil karena jalan yang sempit dan di bawah nya adalah jurang. 

Kalau teman-teman mau pergi ke desa Rahtawu dan melanjutkan trekking ke puncak 29, transportasi nya sangat mudah di jangkau. 
Dari terminal bus Kudus, silahkan cari angkot ke daerah Sukun (turun di pabrik Sukun) atau Colo (nanti turun di pasar Dawe). Setelah itu bisa melanjutkan dengan naik ojeg ke desa Rahtawu.
Dengan kendaraan pribadi, mobil atau motor setting GPS atau  Ga Pake Sungkan nanya ke warga Kudus yang ramah yang kita temui di jalan, di mana desa Rahtawu in Sya Allah akan sampai juga ke tempat yang kita tuju, hehehe.

Perjalanan ke Puncak 29 #1
Memasuki desa Rahtawu kita sudah di sambut dengan pemandangan alam ciptaan Allah Yang Maha Indah. Jalanan yang sudah mulai di bangun oleh dinas pariwisata setempat, karena memang desa Rahtawu adalah rintisan desa wisata pemda Kudus.

Gapura masuk desa Rahtawu


Sungai dengan batu-batu besar khas pemandangan daerah pegunungan
Sebelum memasuki jalanan setapak menuju puncak 29, alangkah menyenangkan jika kita mampir dulu di warung yang sekaligus tempat membayar retribusi (IDR 2000 saja). Begitu pun dengan saya dan suami, minum kopi sambil makan beberapa gorengan tak lupa kami menanyakan sekilas tentang jalanan yang akan kami tempuh nanti.

Warung tempat kita membayar retribusi ke puncak 29

" Taksih dangu lho bu...menawi mlampah mungkin taksih sekawan gangsal jam", jawab penjaga warung. Roaming ya dengan bahasa nya, hehehe.
Ini terjemahan nya : "Masih lama lho bu...mungkin kalau jalan masih 4-5 jam"
" Haaah....", kaget saya
" Yakin pak-mu....mau naik iki", tanya saya ke suami.
" Wees lah...ga po po, gowo motor luwih cepet mbok-mu", jawab suami saya dengan optimis nya.
Yaaa sudahlah, ikuuut saja. Jalanan setapak yang kami lalui setelah dari warung masih landai sekitar 500 meter sudah mulai menanjak ke atas. Suara motor matic yang menderu-deru melewati jalan tanjakan membuat panas mesin nya, mulai lah tercium bau gosong tanda mesin nya sudah sangat panas.

Warga desa Rahtawu yang berkebun di gunung
Di persimpangan jalan setapak, yang lurus ke puncak 29 dan yang belok ke sendang Bunton. Kami bertemu dengan ibu-ibu petani yang mau turun. 
Saya pun menyapa dan menanyakan masih jauh kah jalan ke puncak 29.
" Nyuwun sewu lek...taklet, taksih tebih badhe teng puncak?"
" Njenengan badhe teng puncak.....taksih tebih lho, kok boten enjing wau....sakniki kan mpun sonten buk", Jawab lek 'ibu petani' tadi.
Ini terjemahan nya :
" Maaf lek...tanya, apakah masih jauh ke puncak?"
" Kamu mau ke puncak...masih jauh lho, kok tidak pagi tadi...sekarang kan sudah sore".
"Waduuuh...iki piye, lanjut ga pak-mu....wees sore?", tanya saya ke suami.
" Munggah sithik yuuuk....nti lagi mudun", ajak suami saya.
Jalanan setapak masih landai dan ada beberapa tanjakan yang membuat motor matic kami semakin panas. Akhirnya, kami pun pulang dan tidak menyerah, hehehe. 
In Sya Allah, besok kami akan kembali ke jalanan ini dengan motor bukan matic yang bisa di pakai untuk jalanan yang menanjak (tinggi). Bismillah....

Perjalanan ke Puncak 29 #2
Untuk memenuhi rasa penasaran kami, persiapan untuk naik ke puncak 29 lebih matang lagi. Kali ini sebelum pergi ke desa Rahtawu, suami saya mencoba motor bebek di rumah mbah nya anak-anak yang mampu untuk naik ke tanjakan di sekitar rumah yang memang kontur tanah nya berbukit-bukit.
Bismillah...
Kami kembali mengukur jalan naik ke puncak 29 untuk kedua kali nya.
Sekarang kami sudah mulai hafal jalan sampai ke pertigaan sendang Bunton, setelah mencapai jalan setapak itu rasa penasaran kami pun semakin tinggi, yach karena kami berpapasan dengan anak kecil yang di ajak ibu nya ke kebun di gunung. Jarak yang di tempuh menuju kebun itu sudah jauh sekali dari warung tempat retribusi masuk ke puncak 29. Walaupun ada ojeg motor ke gunung, anak kecil dan ibu nya itu berjalan kaki, Masya Allah Wallahu Akbar.

Jalan setapak pertigaan pertama, lurus ke puncak 29
Berkali-kali saya hanya bisa berdzikir, karena jalan setapak menuju puncak 29 yang semakin naik dan itu arti nya saya tidak bisa naik motor di bonceng suami, justru ikut mendorong motor naik ke tanjakan yang semakin curam. Huftttt, lihat anak kecil tadi saya malu kalau mengeluh dan bilang capek, hehehe.
Sampai lah kita ke jalanan yang lebih banyak pohon kopi nya, kabut mulai turun, dan itu membuat saya agak ciut nyali karena melihat ke atas (gunung) tampak gelap dan berkabut.
Di tikungan jalan, kami kaget karena masih bertemu dengan bapak petani sepuh (tua) yang mau pulang dari kebun sambil memikul kayu besar untuk di bawa turun (pulang).
Melihat saya yang kecapekan, mbah tadi yang menyapa kami duluan.
" Badhe teng puncak nggih?", tanya mbah sepuh itu.
" Nggih mbah....taksih tebih nopo sampun cerak nggih...", tanya saya penasaran dengan jalanan setapak yang kapan bertemu puncak nya ini.
" Hehehe....pripun nggih, di pun arani cerak nggih cerak....di pun arani tebih nggih taksih tebih", jawab mbah sepuh tadi.
" Lhooo...pripun niku mbah?", tanya saya
" Badhe minggah teng puncak niku boten sah di pikir ke...mlampah mawon boten sah mikir tebih mangke nggih tebih boten dugi-dugi....sakniki menawi minggah mikir ipun mpun cerak ngonten lah....", jawab mbah sepuh sambil nunjuk ke atas.
(Roaming, hehehe....maaf obrolan bahasa jawa saya tadi tidak perlu di terjemahkan ya, in Sya Allah mudah untuk di mengerti oleh teman-teman yang membaca)

Jalanan setapak menuju puncak 29 dengan tanaman kopi di kanan kiri jalan 
Pemandangan desa Rahtawu dari kebun kopi warga di gunung
Setelah pamit dengan mbah tadi, kami naik lagi ke atas, jalanan semakin sepi. Di kejauhan masih terdengar obrolan para petani yang sedang membersihkan kebun kopi nya.
Dan saya pun menyerah, minta pulang saja karena hari sudah sore dan tidak mungkin kalau kami tetap nekat naik ke puncak 29.

Perjalanan ke Puncak 29 #3
Sekarang kami tidak boleh gagal, ibarat memasuk kan password ke mesin ATM untuk ketiga kali setelah dua kali gagal, sekarang harus berhasil, hehehe.
Bismillah....
Kami berangkat dari rumah lebih pagi, setelah anak-anak sudah mandi dan sarapan. Mereka bermain bersama dengan sepupu-sepupu nya. Kami pun berangkat ke desa Rahtawu.
Dari jalanan setapak kebun kopi yang di perjalanan kedua kemarin kami berhenti, sekarang kami menemukan jalanan setapak yang lebih menanjak. Dan yang membuat kami takjub, masih terdengar suara derum motor yang menandakan jalanan ini sudah biasa di lalui petani ke kebun nya yang sekaligus juga memberikan jasa ojeg bagi pengunjung yang mau ke puncak 29.
Jalanan setapak semakin menanjak, kami pun semakin kesulitan melalui nya dan saya yang lebih banyak melalui nya dengan jalan kaki, tak terhitung berapa kali duduk di jalanan untuk sejenak mengambil nafas agak lama, hehehe.


Saat ini saya memang lelah berjalan, hehehe.

Dan kami pun masih di buat takjub, di ketinggian yang menurut kami sudah jauh sekali dari start perjalanan menuju puncak 29 ini, masih bertemu dengan ibu petani sepuh yang membawa kayu bakar untuk di kumpulkan dan di bawa pulang. Masya Allah Wallahu Akbar, hanya kalimat-kalimat thoyibah yang bisa saya ucapkan melihat usaha mbah tadi untuk hidup di ketinggian hampir 1300 dpl . Fabi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan
masihkah sebagai hambaNya kita mendustakan nikmatNya yang telah di berikan saat ini......Hiks, mulai dech mbrebes mili.

Kali ini pun mulut saya tak tahan untuk menyapa beliau.
" Mbah, niku leres dalan badhe teng puncak....", tanya saya sambil menunjuk jalan yang lurus karena memang ada percabangan jalan di depan saya.
" Ouw badhe teng puncak nggih, leres menawi lurus mangke wonten dalan cor-cor an ingkang sampun di pun dandosi kalih ojeg-ojeg niku. Lha menawi meniko (nunjuk ke cabang satu nya) dalan ipun medeni nanjak sanget", jawab mbah sepuh tadi.
" Nggih....nggih maturnuwun mbah", saya pamit ke mbah untuk melanjutkan perjalanan.

Memang betul kata mbah tadi, kurang lebih 300 meter kami menemukan jalan setapak yang sudah di cor semen. Waduuh , piye bawa semen nya ke puncak ini ya, Allahu Akbar memang usaha manusia yang luar biasa sungguh-sungguh mau membuat jalanan setapak ini sehingga agak nyaman untuk di lalui oleh pengunjung.

Hati kami sedikit senang, masih terngiang pesan mbah sepuh yang bertemu kami di perjalanan yang kedua. Tidak boleh membatin masih jauh, harus huznudzon puncak itu hampir sampai agar perjalanan kita tidak capek dan menyenangkan, itu hikmah yang saya peroleh dari pesan mbah itu.

Dan motor pun kami parkir di jalanan yang di cor paling ujung, karena ada kayu yang sengaja di pasang agar jalanan yang baru di cor itu tidak di lalui oleh motor. Ya sudah, mulai lah kami hikking, mengukur masih seberapa jauh lagi puncak 29 itu kami capai.

Bismillah....

Pemandangan puncak 29 yang tertutupi kabut

"Jalanan melingkar iku....nanti kita lalui mbok-mu...", tunjuk suami saya ke atas gunung.
" Haaah.....", itu saja yang bisa saya jawab walaupun sudah capek sekali dantidak mengucapkan nya ingat pesan mbah itu.

Alhamdulillah...
Di jalanan yang kami lewati ada mata air yang mengalir dan sayup-sayup terdengar suara orang mengobrol. Berarti di sekitar daerah itu (padahal sudah agak ke puncak) masih ada warga yang menanami nya untuk berkebun.
Kesempatan itu tidak kami sia-sia kan untuk wudlu karena sudah tengah hari dan waktu nya sholat dhuhur.

Kami mencari tempat yang datar agar kami bisa sholat menghadapNya di hamparan gunung Muria salah satu ciptaanNya yang Maha Tinggi.

Setelah selesai sholat, kami pun melanjutkan perjalanan. Sudah tanggung, kepalang membalik punggung, untuk kembali ke kampung, hehehe. Karena selesai sholat, hujan deras pun mengguyur kami, walhasil jalanan yang semakin naik menjadi licin, dan saya pun memilih memakai kaki saja alias melepas kaos kaki dan sandal yang dari awal perjalanan menemani.

Dalam perjalanan kami bertemu seorang laki-laki setengah abad dengan pakaian rapi hendak turun. Kami pun saling menyapa dan menanyakan kira-kira berapa meter lagi perjalanan kami ke puncak. Masih pamali, takut kalau menanyakan masih jauh atau dekat, hehehe.
Sekitar 500 meter lagi kata bapak tadi. Dan ternyata, itu masih jauh untuk perjalanan yang selalu naik tajam ke atas teman-teman.

Alhamdulillah, sudah sampai hibur hati saya ketika melihat ada bangunan-bangunan rumah di depan yang ternyata tidak ada seorang pun kami temui penghuni nya. Syerem, hmmm agak memang dengan suasana hujan gerimis aura negatif tempat itu kuat saya rasakan. Sekali lagi, saya lanjutkan berdzikir karena memang tujuan saya ke puncak adalah untuk menambah rasa syukur atas banyak nikmatNya, salah satu nya adalah gunung-gunung yang di ciptakanNya sebagai pasak bumi yang kita pijak ini.

Di bangunan paling ujung, alhamdulillah ada bapak yang menunggu bangunan tidak permanen yang di jadikan sebuah warung itu. Seperti nya bapak itu baru bangun tidur. Kami pun mengajak bapak nya mengobrol, dan ternyata kami salah teman-teman, tempat ini bukan lah puncak 29, tapi petilasan begawan Abiyasa yang sering di kunjungi orang-orang di bulan tertentu untuk tujuan yang tertentu juga. Hmmmm....

Menurut informasi bapak di warung tadi, masih 500 meter lagi naik ke atas puncak 29.
Saya dan suami pun masih semangat untuk melanjutkan perjalanan, yuuuk Bismillah.
Perjalanan dari petilasan begawan Abiyasa ke puncak 29, adalah perjalanan terberat menurut saya. Jalanan sudah naik hampir 150 derajat dengan mendaki batu-batu dan pemandangan kanan kiri adalah jurang, WoooW. Masya Allah Wallahu Akbar.
Bagi saya yang takut ketinggian, perjalanan yang tinggal ratusan meter ini adalah perjalanan yang membuat jantung saya berdetak lebih kencang dan mata tidak boleh melihat samping kanan dan kiri, karena itu akan menambah detak jantung saya semakin kencang. Yach, kanan kiri batu terjal ini adalah jurang.

Pandangan mata saya fokus ke depan  hanya ada batu-batu, dan saya berharap setelah batu itu adalah puncak 29 itu. Ternyata berkali-kali saya salah, hiks.

Dan tibalah  pemandangan di atas saya adalah tanah yang perlu untuk di daki bukan batu-batu lagi, dalam keadaan hujan gerimis, sangat sulit mendaki tanah yang licin itu. Alhamdulillah, ada lubang-lubang yang sengaja di buat untuk membantu para pendaki  dan pepohonan untuk pegangan.

Allahu Akbar....
Seperti nya di atas saya yang kelihatan gapura itulah puncak 29.
Alhamdulillah ala kulli hal....Akhirnya, terbayar sudah perjalanan saya dan suami selama berjam-jam menuju tempat ini.


Gapura puncak 29
Di puncak 29 ada beberapa bangunan, salah satu nya adalah warung nya pakdhe (saya menyebut demikian karena lupa menanyakan nama nya, nyuwun sewu nggih). Di sebelah warung adalah rumah atau pondok yang kata pakdhe tempat menginap para pendaki yang ingin melihat sunrise.
Tak lupa di warung pakdhe, saya memenuhi hajat badan yang minta di isi karena lewat tengah hari. Kami sampai di puncak 29 jam 13.30 WIB.

Warung pakdhe di puncak 29
Di warung pakdhe, kami pesan mie rebus dan telur dengan segelas jahe hangat serta kopi tubruk.
Self service, saya meminta ijin ke pakdhe untuk membuat semua nya sendiri di pawon nya.

Pakdhe ngobrol dengan suami saya, dan Alhamdulillah satu mangkok mie dan telur serta segelas besar minuman hangat menemani kami menikmati puncak 29 yang sedang gerimis hujan serta berkabut.

Kaget, pasti nya saya. Tak terbayang kan bagaimana usaha membawa bahan makanan dan minuman dari bawah (perkampungan) ke puncak 29 yang jarak nya berkilo-kilo meter dengan waktu tempuh berjam-jam dan ternyata harga makanan nya tidak mahal seperti kalau kita kena harga getok di tempat-tempat wisata atau transportasi umum. 

Bikin penasaran yaaa, hehehe.
Inilah harga makanan di warung pakdhe. Satu porsi mie rebus dan telur IDR 8000, satu gelas besar minuman hangat IDR 4000 dan satu tahu goreng IDR 1000. kebetulan ketika kami mau pamit turun ke bawah, hujan tambah deras di warung pakdhe menjual juga jas hujan sekali pakai yang harga nya masih wajar IDR 10.000 saja. Alhamdulillah.

Hikmah dari perjalanan wisata alam ke puncak 29 ini bagi saya adalah semakin menambah rasa syukur atas banyak nya nikmatNya yang sudah saya rasakan dan di berikanNya selama saya di beri nikmat nafasNya.

Dan semoga teman-teman pun juga bisa merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan dan kita termasuk hambaNya yang pandai bersyukur dan sholeh/sholehah. Aamiin




“Ya Rabbku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh".

[QS. An-Naml : 19]
















4 komentar:

  1. Kayaknya rute ini sangat cocok untuk naik sepeda, malah pengen nyepeda kesana :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyeees om...monggo, seru dan asyiiik nyepeda sampe puncak 29....:D

      Hapus
  2. Balasan
    1. Betuul mbak Titis....menikmati gunung Muria salah satu ciptaanNya

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...